Rabu, 24 April 2013

SUBJEK PAJAK, OBJEK PAJAK, UTANG PAJAK DAN TARIF PAJAK


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Pajak merupakan alat atau instrumen penerimaan Negara.Dalam menjalankan tugas-tugas rutin Negara diperlukan biaya, demikian juga dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional.Pembiayaan itu terutama berasal dari penerimaan pajak.Penerimaan Negara terutama dari sektor pajak ini diharapkan bisa ditingkatkan dari tahun ke tahun.Karena sesuai dengan kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat.

Dalam kehidupan sehari-hari sering kita temui di televisi dan media-media yang lain mengenai istilah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Pajak Penghasilan (PPH). Namun, tidak semua orang mengetahui apa saja yang menjadi subjek dan objek dari kedua pajak ini. Sehingga banyak orang yang tidak mengetahui bahwa mereka termasuk salah satu dari subjek pajak tersebut.

Selain itu kita kurang sering memperhatikan berapa tarif pajak yang harus dibayarkan pada setiap kekayaan yang kita miliki, serta bagaimana hutang dalam pajak bisa terjadi.

Dalam makalah ini kami akan mencoba menguraikan beberapa hal mengenai siapa dan apa saja yang menjadi subjek dan objek dalam pajak bumi dan bangunan serta pajak penghasilan, dan berapa cara pemnghitungannya serta mengapa bisa timbul utang pajak  Sehingga kita semua dapat mengatahui tentang hal-hal tersebut.





B.      Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1.    Apa  yang menjadi subjek pajak bumi dan bangunan?
2.    Apa yang menjadi objek pajak bumi dan bangunan?
3.    Apa yang menjadi subjek pajak penghasilan?
4.    Apa yang menjadi objek pajak penghasilan?
5.    Bagaimana bea perolehan atas tanah bangunan?
6.    Bagaimana cara mengitung ariff pajak?
7.    Apa sebab dari timbulnya hutang pajak?.

C.     Tujuan

Dari judul yang kami ambil maka dapat ditentukan tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:

1.    Mengetahui apa saja yang menjadi subjek pajak bumi dan bangunan.
2.    Mengetahui apa saja yang menjadi objek pajak bumi dan bangunan.
3.    Mengetahui apa saja yang menjadi subjek pajak penghasilan.
4.    Mengetahui apa saja yang menjadi objek pajak penghasilan.
5.    Mengetahui bea perolehan atas tanah bangunan.
6.    Mengetahui berapa uang yang harus dikeluarkan dan berapa yang seharusnya kita   bayarkan untuk membayar  pajak pada kekayaan yang kita miliki
7.    Mengetahui apa sebab timbulnya hutang pajak.





D.    Manfaat

Berdasarkan data-data yang dimuat dalam makalah ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada penulis serta pembaca dan pengguna makalah ini supaya dapat mengetahui subjek dan objek pajak, tarif pajak serta penyebab dan hilangnya hutang pajak


























BAB II
PEMBAHASAN

A.    SUBJEK PAJAK

Subjek pajak adalah orang, badan atau kesatuan lainnya yang telah memenuhi syarat-syarat subjektif, yaitu bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia. Subjek pajak baru menjadi wajib pajak bila telah memenuhi syarat-syarat obyektif.

Subjek pajak tidak identik dengan subjek hukum, oleh karena itu untuk menjadi subjek pajak tidak perlu menjadi subjek hukum. Sehingga firma, perkumpulan, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan dapat menjadi subjek pajak. Demikian juga orang gila, anak yang masih di bawah umur dapat menjadi subjek atau wajib pajak, tetapi untuk mereka perlu ditunjuk orang atau wali yang dapat dipertanggungjawabkan untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya.

1.    Subjek Pajak Bumi dan Bangunan

Subyek pajak dalam pajak bumi dan bangunan adalah orang atau badan yang secara nyata:
a)      Mempunyai suatu hak atas bumi
b)      Memperoleh manfaat atas bumi
c)      Memiliki, menguasai
d)     Dan sepertidisebutkan dalam Undang-Undang:

1)        Memperoleh manfaat atas bangunan ( UU PBB pasal 4 ayat 1 ).
2)        Subyek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat yang dikenakan kewajiban membayar  pajak menjadi wajib pajak menurut Undang-undang ini ( UU PBB pasal 4 ayat 2).
3)        Dalam hal atas suatu obyek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, Direktur Jenderal Pajak  dapat menetapkan subyek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai wajib pajak ( UU PBB pasal 4 ayat 3 ).
4)        Subyek pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat memberikan  keterangan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa ia bukan wajib pajak  terhadap obyek pajak dimaksud ( UU PBB pasal 4 ayat 4 ).
5)        Bila keterangan yang diajukan oleh wajib pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)  disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak membatalkan penetapan sebagai wajib pajak  sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan dimaksud ( UU PBB pasal 4 ayat 5 ).
6)        Bila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan  surat keputusan penolakan dengan disertai alasan-alasannya ( UU PBB pasal 4 ayat 6 ).
7)        Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya keterangan sebagaimana  dimaksud dalam ayat (4), Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, maka  keterangan yang diajukan itu dianggap disetujui ( UU PBB pasal 4 ayat 7 ).

2.    Subjek Pajak Penghasilan

Menurut Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1983, sebagaimana telah dirubah dan disempurnakan terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008- Pajak Penghasilan, ”Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas Penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak”.
           
Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (1) nya dijelaskan, bahwa yang menjadi subjek pajak dalam Pajak Penghasilan adalah :
a)      Orang pribadi atau perseorangan;
b)      Warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan;
c)      Badan;
d)     Bentuk usaha tetap (BUT)

Penjelasan selanjutnya Pasal 2 ayat (1) adalah:

a)        Orang pribadi atau perseorangan;
Sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal di Indonesia, atau pun tidak bertempat tinggal di Indonesia.

b)        Warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan;
Sebagai Subjek Pajak, merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak dikemudian hari, ini menjadi dasar agar pengenaan pajak dari warisan tersebut tetap terjamin, berhubung misalnya yang punya harta (warisan) semasa hidup tidak menetapkan siapa yang bertanggung jawab dikemudian hari apabila yang bersangkutan meninggal dunia. Contoh : Ahmad semasa hidup memiliki usaha bengkel mobil yang selalu tetap memenuhi kewajiban pajaknya setiap tahun. Suatu saat Ahmad meninggal, harta (warisan berupa bengkel mobil) belum dibagikan kepada ahli waris, maka selama belum dibagikan harta (bengkel mobil) tersebut, berstatus sebagai subjek pajak. Apabila harta (bengkel mobil) dimaksud, telah dibagikan (ditetapkan) pemilik barunya, maka warisan (harta) tersebut berakhir kedudukannya sebagai subjek pajak. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-161/PJ./2001, Tgl 21 Pebruari 2001, Tentang Jangka Waktu Pendaftaran, Pelaporan Kegiatan Usaha, dan Tatacara Penghapusan NPWP, serta Pengukuhan Dan Pencabutan PKP, pada pasal 10 menyebutkan, bahwa dalam hal wajib pajak yang telah memiliki NPWP meninggal dunia, dan meninggalkan warisan yang belum terbagi, maka warisan yang belum terbagi tadi kedudukannya sebagai subjek pajak, menggunakan NPWP dari wajib pajak yang meninggal dunia, dan ahli warisnya wajib mengisi formulir yang ditentukan, dan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak (PKP)nya, tidak diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), sebagaimana ditegaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-10/PJ.41/1996, Tgl 12 Pebruari 1996.

c)    Badan;
Adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan satu kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha, yang meliputi Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer (CV), Perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara/Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, Firma, Kongsi, Koperasi, Dana Pensiun, Persekutuan, Perkumpulan, Yayasan, Organisasi masa, Orgaisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, Lembaga, Bentuk Usaha Tetap, dan bentuk badan lainnya, termasuk Reksa dana.

Dalam UU ini, Bentuk Usaha Tetap ditentukan sebagai subjek pajak tersendiri sebagai Subjek Pajak Luar Negeri, sekalipun tatacara pengenaannya serta ketentuan administrasi perpajakannya sama dengan wajib pajak dalam negeri

Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, merupakan Subjek Pajak, tanpa memperhatikan nama dan bentuknya, sehingga setiap unit dari badan pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh pemerintah pusat, maupun pemerintah daerah, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan subjek pajak. Sebagai subjek pajak perusahaan Reksadana, baik yang berbentuk perseroan terbatas, maupun bentuk lainnya, termasuk dalam pengertian badan. Sedangkan pengertian perkumpulan termasuk pula assosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.



d)   Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (5), UU No. 36 tahun 2008-PPh, dijelaskan bahwa yang dimaksud denganBentuk Usaha Tetap, adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, atau yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
1)        Tempat kedudukan manajemen ;
2)         Cabang Perusahaan ;
3)        Kantor Perwakilan;
4)        Gedung Kantor ;
5)        Pabrik ;
6)        Bengkel ;
7)        Gudang ;
8)        Ruang untuk promosi dan penjualan;
9)        Pertambangan dan penggalian sumber alam ;
10)    Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
11)    Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
12)    Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain,sepanjangdilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12(dua belas) bln;
13)    Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas ;
14)    Agen atau pegawai perusahaan  asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima premi asuransi atau menanggung resiko di Indonesia ;
15)    Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan usaha melalui internet.

Selanjutnya dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) huruf b, UU No. 36 tahun 2008unit usaha tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria berikut, tidak termasuk sebagai subjek pajak yaitu :

a)    Dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b)   Dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD.
c)    Penerimaan lembaga tersebut dimasukan dalam anggaran pemerintah pusat atau pemerintah daerah.
d)   Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.
Apabila suatu badan/lembaga memenuhi syarat–syarat tersebut diatas, maka ia tidak termasuk subjek pajak penghasilan. Sebalikya apabila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, maka badan/lembaga tersebut adalah subjek pajak pada pajak penghasilan.

 Subjek PPh terdiri dari subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri :

a)      Subyek Pajak dalam negeri
Subyek Pajak dalam negeri meliputi:
1)      Orang yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu dua belas bulan atau orang yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
2)       Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia;
3)      Bentuk usaha tetap yaitu bentuk usaha, yang dipergunakan untuk menjalankan kegiatan usaha secara teratur di Indonesia, oleh badan atau perusahaan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat berupa tempat kedudukan manajemen, kantor cabang, kantor perwakilan, agen, gedung kantor, pabrik, bengkel, proyek konstruksi, pertambangan dan penggalian sumber alam, perikanan, tenaga ahli, pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, orang atau badan yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak atas nama badan atau perusahaan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia dan perusahaan asuransi yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia ( UU PPH pasal 2 ayat 3 ).
4)      Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak

b)      Subjek pajak luar negri
Subyek Pajak luar negeri adalah:
1)        Subyek Pajak yang tidak bertempat tinggal, tidak didirikan, atau tidak berkedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia(UU PPH pasal 2 ayat 4).
2)      Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 13 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
3)      Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan

Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak Luar Negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:
a)    Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia
b)   Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan
c)    Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib memberitahukan Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.

Yang tidak termasuk dalam subyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah :
a)    pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan pejabat-pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia, dan di Indonesia tidak melakukan pekerjaan lain atau kegiatan usaha, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
b)   pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan;
c)    Perusahaan Jawatan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan. ( UU PPH pasal 3 ayat 1 )
d)   Badan perwakilan Negara asing.

B.     OBJEK PAJAK

Objekpajakyaitusesuatu yang dikenakanpajakataudapatdiartikansebagaisasaranpengenaanpajak.Mengenai apa yang dapat dijadikan objek pajak banyak sekali macamnya. Pada prinsipnya segala sesuatu yang ada dalam masyarakat dapat dijadikan sasaran atau objek pajak, baik keadaan, perbuatan, maupun peristiwa.
1.    Objek Pajak Bumi dan Bangunan

Yang menjadi objek pajak bumi dan bangunan adalah bumi dan bangunan atau bangunan.
a)    Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya; permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia.
b)   Bangunan adalah konstruksi tekhnik yang ditanam atau diletakkan secara tetap pada tanah dan atau perairan.

Selain itu yang termasuk dalam pengertian bangunan adalah :

1)   Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik dan emplesemennya dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut.
2)   Jalan tol
3)   Kolam renang
4)   Pagar mewah
5)   Tempat olahraga
6)   Galangan kapal, dermaga
7)   Taman mewah
8)   Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak
9)   Fasilitas lain yang memberikan manfaat.

Klasifikasi obyek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri Keuangan ( UU PBB Pasal 2 ayat 2 ).Yang dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi dan bangunan menurutnilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman serta untuk memudahkan penghitungan pajak yangterhutang.

Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut :
a)      Letak;
b)      Peruntukan;
c)      Pemanfaatan
d)     Kondisi lingkungan dan lain-lain.

Dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut :
a)      Bahan yang digunakan;
b)      Rekayasa;
c)      Letak;
d)     Kondisi lingkungan dan lain-lain.

Obyek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah objek pajak yang seperti:
a)      Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan.
b)      Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;
c)      Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani  suatu hak;
d)     Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik.
e)      Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh  MenteriKeuangan ( UU PBB Pasal 3 ayat 1 ).


2.    Objek Pajak Penghasilan
Yang menjadi Obyek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk di dalamnya :
a)      Gaji, upah, komisi, bonus atau gratifikasi, uang pensiun atau imbalan lainnya untuk pekerjaan yang dilakukan;
b)       Honorarium, hadiah undian dan penghargaan;
c)      Laba bruto usaha;
d)     Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, termasuk keuntungan yang diperoleh oleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, anggota, serta karena likuidasi;
e)      Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah diperhitungkan sebagai biaya;
f)       Bunga;
g)      Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan oleh perseroan, pembayaran dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, pembagian Sisa Hasil Usaha koperasi pengurus dan pengembalian Sisa Hasil Usaha koperasi kepada anggota
h)      Royalti;
i)        Sewa dari harta;
j)        Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k)      Keuntungan karena pembebasan utang. ( UU PPH pasal 4 ayat 1 )



Yang tidak termasuk sebagai Obyek Pajak antara lain :
a)    Harta hibahan atau bantuan yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan dari pihak yang bersangkutan;
b)   Warisan;
c)    Pembayaran dari perusahaan asuransi karena kecelakaan, sakit atau karena meninggalnya orang yang tertanggung, dan pembayaran asuransi bea siswa;
d)   Penggantian berkenaan dengan pekerjaan atau jasa, yang dinikmati dalam bentuk natura, dengan ketentuan, bahwa yang memberikan penggantian adalah Pemerintah atau Wajib Pajak menurut Undang-undang ini dan Wajib Pajak yang memberikan penggantian tersebut, sesuai ketentuan dalam Pasal 9 ayat 1huruf d tidak Mengurangkan penggantian itu sebagai biaya;
e)    Keuntungan karena pengalihan harta orang pribadi, harta anggota firma, perseroan komanditer atau kongsi tersebut kepada perseroan terbatas di dalam negeri sebagai pengganti sahamnya, dengan syarat :
1)      Pihak yang mengalihkan atau pihak-pihak yang mengalihkan secara bersama-sama memiliki paling sedikit 90% (sembilan puluh persen) dari jumlah modal yang disetor;
2)      Pengalihan tersebut diberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak;
3)      Pengenaan pajak dikemudian hari atas keuntungan tersebut dijamin
f)    Harta yang diterima oleh perseroan, persekutuan atau badan lainnya sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
g)   Deviden yang diterima oleh perseroan dalam negeri, selain Bank atau lembaga Keuangan lainnya, dari Perseroan lain di Indonesia dengan syarat, bahwa perseroan yang menerima dividen tersebut paling sedikit memiliki 25% (dua puluh lima persen) dari nilai saham yang disetor dari badan yang membayar dividen dan kedua badan tsb mempunyai hubungan ekonomis dalam jalur usahanya;
h)   Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang disetujui Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun oleh karyawan, dan penghasilan dana pensiun serupa dari modal yang ditanamkan dalam bidang-bidang tertentu berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan;
i)     Penghasilan Yayasan dari usaha yang semata-mata ditujukan untuk kepentingan umum;
j)     Penghasilan Yayasan dari modal sepanjang penghasilan itu semata-mata digunakan untuk kepentingan umum;
k)      Pembagian keuntungan dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, firma, kongsi, dan persekutuan kepada para anggotanya, kecuali apabila ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan, karena terdapat penyalahgunaan; ( UU PPH pasal 4 ayat 3 )

Yang menjadi Obyek Pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT)antara lain:

a)    Penghasilan dari kegiatan usaha bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dikuasai atau dimilikinya;

b)   Penghasilan induk perusahaan dan badan lain yang bukan Wajib Pajak dalam negeri yang mempunyai hubungan istimewa dengan induk perusahaan tersebut, dari kegiatan usaha atau penjualan barang-barang dan/atau pemberian jasa di Indonesia, yang sejenis dengan kegiatan usaha atau penjualan barang-barang dan/atau pemberian jasa yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia, kecuali penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). ( UU PPH pasal 5 ayat 1 )


C.    UTANG PAJAK

1.   Pengertian Utang Pajak
Utang pajak adalah pajak yang harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejesisnya berdasarka peraturan perundang-undangan perpajakan. Utang pajak akan timbul sesudah fiskus menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP). Akan tetapi prinsip tersebut tidak mutlak.Utang pajak dapat timbul apabila keadaan si wajib pajak menjadikan wajib pajak mempunyai Utang pajak sesuai dengan undang-undang. Sebagai contoh, misal si A adalah seorang wajib pajak. Dia telah betempat tinggal atau berada di daerah Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan si A telah memiliki penghasilan melebihi PTKP. Dalam keadaan tersebut, maka secara otomatis akan timbul Utang pajak bagi si A tanpa harus menunggu fiskus menerbitkan SKP kepada si A. 

2.       Timbulnya Utang Pajak

Utang pajak timbul jika undang-undang yang menjadi dasar pemungutannya telah ada dan telah dipenuhi syarat-syarat subjek dan objektifnya, yang ditentukan oleh undang-undang secara bersama (simultan). Syarat objektif dipenuhi apabila keadaan yang nyata yang disebut oleh Undang -undang dipenuhi, keadaan ini berupa:

a)Perbuatan
b)     Keadaan
c)Peristiwa

Saat timbulnya utang pajak mempunyai peranan yang menentukan dalam:
a)    Pembayaran/penagihan pajak
b)   Memasukkan surat keberatan
c)    Penentuan saat dimulai dan berakhirnya jangka waktu daluwarsa
d)   Menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar

3.        Sifat Utang Pajak

Beberapa sifat dari utang pajak adalah :

a)      Dapat dipaksakan
Artinya sebagaimana sifat dari pajak yakni pungutannya dapat dipaksakan, pengertiannya adalah bahwa pemaksaan tersebut di lakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Jadi utang pajak yang tidak dibayar oleh penanggung pajak pada waktu yang telah ditentukan (saat jatuh tempo), penagihannya dapat dilakukan dengan cara paksa melalui “Surat Paksa” (SP, Surat Perintah melaksanakan penyitaan (SPMP), dan pelelangan harta penanggung pajak melalui kantor Lelang Negara, berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa ( UU No.19/1997 yang telah dan ditambah terakhir dengan UU No.19/2000).

b)   Dapat menunjuk orang lain untuk ikut membayarnya
Dalam hal ini pengertiannya adalah bahwa utang pajak yang seharusnya ditanggung oleh Wajib Pajak, maka berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan penagihan pajak, dapat menunjuk pihak lain yang ada hubungannya dengan wajib pajak tersebut. Yang dimaksud dengan pihak lain tersebut adalah :
1)   Badan pengurus dan atau orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan.
2)   Badan dalam pembubaran atau pailit oleh orang pribadi atau badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan.
3)   Suatu warisan yang belum terbagi, oleh seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau pengurus harta peninggalannya.
4)   Anak belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampunan oleh wali atau pengampunannya
5)   Kuasa yang ditunjuk secara khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.


c)      Dapat Ditagih Seketika
Kasus – kasus yang dapat dipakai alasan penagihan pajak seketika dan sekaligus yaitu :
1)   Penanggung pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu
2)   Penanggung pajak menghentikan secara nyata, mengecilkan kegiatannya di Indonesia, ataupun memindahkan barang bergerak atau barang tidak bergerak yang dimilikinya atau dikuasainya.
3)   Pembubaran badan atau niat untuk membubarkannya, pernyataan pailit ataupun penyitaan harta Penanggung pajak oleh pihak lain.
4)   Perusahaan dibubarkan oleh pemerintah.

d) Mempunyai Hak Mendahulu Terhadap Hutang yang Lain
  Maksudnya yaitu Negara melalui utang pajak memiliki hak mendahulu (preferen) untuk tagihan pajak atsa barang-barang milik penanggung pajak, di ats utang-utang yang lain. Dalam hal ini ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu :
             1)     Pengertian utang pajak di sini adalah meliputi pokok pajak, bunga, denda administrasi, kenaikan dan biaya penagihan
             2)     Hak mendahulu meliputi harta wajib pajak dan penanggung pajak
             3)     Saat hak mendahulu adalah pada saat penjualan melalui sita lelang, bukan pada saat penyitaan
Jangka waktu hak mendahulu tersebut adalah dua tahun sejak diterbitkannya surat ketetapan pajak atau apabila telah ada penagihan dengan Surat Paksa maka dua tahun tersebut dihitung sejak diberitahukannya Surat Paksa

e)    Dapat dilakukan pencegahan atau penyanderaan terhadap penanggung pajak
Surat paksa adalah bersifat eksekutoriol, yaitu dapat dilaksanakaneksekusi tanpa adanya putusan hakim.Eksekusi ini dapat dilaksanakan pada harta dan juga fisik Penanggung Pajak.Eksekusi ini dapat dilakukan pada seorang atau seluruh penanggung pajak.

Yang dimaksud dengan fisik yaitu :
           1)      Pencegahan adalah langkah sementara (selama-lamanya enam bulan dan dapat diperpanjang selama enam bulan lagi) terhadap penanggung jawab tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
           2)      Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan penanggung pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu (tempat penyanderaan). Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan tindakan pencegahan dan penyanderaan adalah :
a)) Utang pajak paling sedikit adalah Rp 100.000,-
b)) Diragukan itikad baiknya dalam pelunasan hutang pajak
c)) Surat Keputusan Pencegahan diterbitkan oleh Menteri Keuangan atas permintaan Pejabat atau Atasan Pejabat (Kepala KPP/Kepala KP.PBB/Kepala Dinas Pendapatan Daerah/Kanwil?dirjen Pajak/Bupati/Walikota)
d)) Surat Keputusan Penyanderaan diterbitkan oleh Pejabat (Kepala KPP/Kepala KP.PBB/Kepala Dinas Pendapatan Daerah) atas izin Menteri Keuangan atau Gubernur (untuk pajak-pajak daerah).

4.       Penagihan Utang Pajak
Penagihan Utang pajak adalah perbuatan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, karena Wajib Pajak tidak mematuhi ketentuan undang-undang pajak, khususnya mengenai pembayaran pajak yang terutang. Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan tindakan penagihan pajak bila jumlah pajak yang terutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan. Untuk itu, apabila utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran belum dilunasi, maka akan dilakukan tindakan penagihan pajak dengan cara sebagai berikut:

a)      Surat Teguran
Utang pajak yang tidak dilunasi setelah lewat 7 (tujuh) hari dari tanggal jatuh tempo pembayaran, akan diterbitkan Surat Teguran.

b)      Surat Paksa
Utang pajak setelah lewat 21 (dua puluh satu) hari dari tanggal Surat Teguran tidak dilunasi, akan diterbitkan Surat Paksa yang diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan dibebani biaya penagihan pajak dengan Surat Paksa sebesar Rp 50.000,00. Utang pajak harus dilunasi dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak

c)    Surat Sita
Jika utang pajak dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan olehJurusita Pajak tidak dilunasi, maka Jurusita Pajak dapat melakukan tindakan penyitaan,dengan dibebani biaya pelaksanaan Surat Perintah Melakukan Penyitaan sebesar Rp75.000,00.

d)   Lelang
Apabila dalam jangka waktu paling singkat 14 (empat belas) hari setelah tindakan penyitaan, utang pajak belum juga dilunasi, maka akan dilanjutkan dengan pengumuman lelang melalui media massa. Penjualan secara lelang melalui Kantor Lelang Negara terhadap barang yang disita, dilaksanakan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang. Biaya penagihan paksa dan biaya pelaksanaan sita yang belum dibayar akan dibebankan bersama-sama dengan biaya iklan untuk pengumuman lelang dalam surat kabar dan biaya lelang pada saat pelelangan.
5.       Berakhirnya Utang Pajak
Utang pajak dapat berakhir karena hal-hal berikut ini :
a)        Pembayaran / Pelunasan
Pembayaran / pelunasan pajak dapat dilakukan Wajib Pajak dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau dokumen lain yang dipersamakan. Pembayaran atau pelunasan pajak dapat dilakukan di Kantor Kas Negara, Kantor Pos dan Giro, dan Bank Persepsi. Pembayaran pajak hanya dapat dilakukan dengan uang dan bukan dengan bentuk lainnya.
b)        Kompensasi
Kompensasi dapat dilakukan antara jenis pajak yang berbeda dalam tahun pajak yang sama, misalnya antara kelebihan pembayaran PPh dengan kekurangan pembayaran PPN, ataupun antara jenis pajak yang sama dalam tahun yang berbeda misalnya kelebihan pembayaran PPh tahun lalu dengan kekurangan pembayaran PPh tahun berjalan.
c)        Penghapusan Utang
Penghapusan Utang pajak dilakukan karena kondisi dari Wajib Pajak yang bersangkutan, misalnya Wajib Pajak dinyatakan bangkrut oleh pihak-pihak yang berwenang. Utang pajak pada prinsipnya dapat dihapuskan karena tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi dengan beberapa alasan seperti yang diatur dalam KepMen Keuangan Nomor 565/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000, yaitu :
1)      Wajib Pajak meninggal dunia dengan tidak meninggalkan warisan dan tidak mempunyai ahli waris, atau ahli waris tidak dapat ditemukan.
2)      Wajib Pajak tidak mempunyai harta kekayaan lagi yang dibuktikan berdasarkan surat keterangan dari Pemerintah Daerah setempat. Penghapusan Utang pajak melalui proses penghapusan merupakan bentuk keadilan bagi Wajib Pajak yang memang benar-benar mengalami hal tersebut diatas.
3)      Hak untuk melakukan penagihan sudah daluwarsa.
4)      Sebab lain sesuai hasil penelitian, misalnya Wajib Pajak tidak dapat dilakukan lagi atau dokumen tidak dapat dilakukan lagi disebabkan keadaan yang tidak dapat dihindarkan seperti kebakaran, bencana alam, dan sebagainya. Penelitian dilakukan melalui penelitian setempat atau penelitian administrasi baik oleh KPP maupun oleh KPPBB, yang dilakukan secara per jenis Wajib Pajak, per tahun pajak dan per jenis ketetapan.

e)Daluwarsa
Daluwarsa Utang pajak terjadi karena terlampaunya waktu penetapan pajak (penertiban surat ketetapan pajak) maupun karena lampaunya waktu proses penagihan pajak. Daluwarsa dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum baik bagi Wajib Pajak maupun fiskus maka diberikan kebebasan batas waktu tertentu untuk penagihan pajak. Batas daluwarsa yang berlaku saat ini adalah :
1)      Untuk pajak pusat adalah 5 tahun
2)      Untuk pajak daerah adalah 5 tahun
3)      Untuk retribusi daerah adalah 3 tahun
4)      Untuk Wajib Pajak yang terlibat tindak pidana pajak tidak diberikan batas waktu

f)    Pembebasan
Pembebasan pajak biasanya dilakukan berkaitan dengan kebijakan pemerintah. Misal dalam rangka meningkatkan penanaman modal maka pemerintah memberikan pembebasan pajak untuk jangka waktu tertentu atau pembebasan pajak di wilayah-wilayah tertentu.


D.    TARIF PAJAK

Tarif pajak merupakan angka atau persentase yang digunakan untuk menghitung jumlah pajak atau jumlah pajak yang terutang.
Tarif pajak dibedakan menjadi 4 macam
1.    Tarif sebanding/ proporsional
Tarif berupa persentase  yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak.
Contoh:
Untuk penyerahan barang kena pajak didalam daerah pabean akan dikenakan pajakpertambahan nilai sebesar 10%.
2.    Tarif tetap
Terif berupa jumlah yang tetap terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya  pajak yang terutang tetap.
Contoh: Besarnya tarif bea materai untuk cek dan bilyet giro dengan nilai nominal berapapun adalah rp.1.000.-
3.    Tarif progresif
Persentase tarif  yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar menurut Pasal 17 UU  pph 1995:

a)      Untuk Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) dalam bentuk Orang Pribadi
Lapisan penghasilan kena pajak
Tarif
s/d Rp. 25.000.000,00
5%
Rp. 25.000.000,00 s/d Rp. 50.000.000,00
10%
Rp. 50.000.000,00 s/d Rp. 100.000.000,00
15%
Rp. 100.000.000,00 s/d Rp. 200.000.000,00
25%
Diatas Rp. 200.000.000,00
35%

b)      Untuk WPDN dalam bentuk Badan
Lapisan penghasilan kena pajak
Tarif
s/d Rp. 50.000.000,00
10%
Rp. 50.000.000,00 s/d Rp. 100.000.000,00
15%
Diatas Rp. 100.000.000,00
30%

Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) adalah sebagai berikut:

Penerima PTKP
Setahun
Sebulan
Untuk diri pegawai
Rp 15.840.000
Rp 1.320.000
Tambahan untuk pegawai yang sudah menikah(kawin)
Rp 1.320.000
Rp 110.000
Tambahan untuk setiap anggota keluarga *) paling banyak 3 (tiga) orang
Rp 1.320.000
Rp 110.000

Menurut kenaikan persentase tarifnya, tarif progresif dibagi menjadi:
a)    Tarif progresif progresif   : kenaikan persentase semakin besar
b)   Tarif progresif besar         : kenaikan persentase tetap
c)    Tarif progresif degresif    : kenaikan persentase ssemakin kecil

4.      Tarif degresif
Tarif degresif yaitu tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.
Contoh:
1.      Rp. 1.000.000 (4%) = Rp. 40.000
2.      Rp. 2.000.000 (3,8%) = Rp. 76.000
3.      Rp. 3.000.000 (3,5%) = Rp. 105.000
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa yang menjadi subjek PBB adalah orang atau badan yang memiliki, menguasai; memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.Objek PBB adalah bumi dan/atau bangunan.
Sedangkan subjek PPH adalah orang pribadi, warisan yang belum terbagi menjadi satu kesatuan menggantikan yang berhak, badan dan bentuk usaha tetap. Objek PPH adalah Gaji, upah, komisi, bonus atau gratifikasi, uang pensiun atau imbalan lainnya untuk pekerjaan yang dilakukan;honorarium, hadiah undian dan penghargaan; laba bruto usaha; keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, termasuk keuntungan yang diperoleh oleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, anggota, serta karena likuidasi; penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah diperhitungkan sebagai biaya; bunga; dividen,pembagian Sisa Hasil Usaha koperasi pengurus dan pengembalian Sisa Hasil Usaha koperasi kepada anggota; royalti; sewa dari harta; penerimaan atau perolehan pembayaran berkala; keuntungan karena pembebasan utang.

B.     Saran
Seharusnya kita sebagi warga Negara Indonesia harus memahami apa-apa saja yang menjadi subjek, objek pajak, timbul dan hilangnya utang pajak serta tarif pajak.Sehingga bisa dimanfaatkan dalam kehidupan bermasyarakat dan menjadi warga Negara yang taat terhadap pajak.






DAFTAR PUSTAKA

Bohari. 2001.Pengantar Hukum Pajak: Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.
http://agushariyantosukses.blogspot.com/feeds/posts/default.

http://ganjar-asdi.blogspot.com/feeds/posts/default

http://pelayanan-pajak.blogspot.com/feeds/posts/default
http://muhammadsyaroni.blogspot.com/feeds/posts/default
http://stiepas.blogspot.com/feeds/posts/default
http://Seri PPh - Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21   Direktorat Jenderal Pajak.htm
Wirawan B Ilyas, Richard Burton.2004.Hukum Pajak.Jakarta:Salemba Empat

1 komentar:

Riski Syendi mengatakan...

objek pajak
kita juga punya nih artikel mengenai 'objek pajak', silahkan dikunjungi dan dibaca , berikut linknya

http://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/2016/1/Artikel_20205677.pdf

terima kasih
semoga bermanfaat