PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pajak
merupakan alat atau instrumen penerimaan Negara.Dalam menjalankan tugas-tugas
rutin Negara diperlukan biaya, demikian juga dalam rangka melaksanakan
pembangunan nasional.Pembiayaan itu terutama berasal dari penerimaan pajak.Penerimaan
Negara terutama dari sektor pajak ini diharapkan bisa ditingkatkan dari tahun
ke tahun.Karena sesuai dengan kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin
meningkat.
Dalam
kehidupan sehari-hari sering kita temui di televisi dan media-media yang lain
mengenai istilah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Pajak Penghasilan (PPH).
Namun, tidak semua orang mengetahui apa saja yang menjadi subjek dan objek dari
kedua pajak ini. Sehingga banyak orang yang tidak mengetahui bahwa mereka termasuk
salah satu dari subjek pajak tersebut.
Selain
itu kita kurang sering memperhatikan berapa tarif pajak yang harus dibayarkan
pada setiap kekayaan yang kita miliki, serta bagaimana hutang dalam pajak bisa
terjadi.
Dalam
makalah ini kami akan mencoba menguraikan beberapa hal mengenai siapa dan apa
saja yang menjadi subjek dan objek dalam pajak bumi dan bangunan serta pajak
penghasilan, dan berapa cara pemnghitungannya serta mengapa bisa timbul utang
pajak Sehingga kita semua dapat
mengatahui tentang hal-hal tersebut.
B. Rumusan Masalah
Adapun
yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa
yang menjadi subjek pajak bumi dan bangunan?
2. Apa
yang menjadi objek pajak bumi dan bangunan?
3. Apa
yang menjadi subjek pajak penghasilan?
4. Apa
yang menjadi objek pajak penghasilan?
5. Bagaimana
bea perolehan atas tanah bangunan?
6. Bagaimana
cara mengitung ariff pajak?
7. Apa
sebab dari timbulnya hutang pajak?.
C. Tujuan
Dari
judul yang kami ambil maka dapat ditentukan tujuan dari penyusunan makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui
apa saja yang menjadi subjek pajak bumi dan bangunan.
2. Mengetahui
apa saja yang menjadi objek pajak bumi dan bangunan.
3. Mengetahui
apa saja yang menjadi subjek pajak penghasilan.
4. Mengetahui
apa saja yang menjadi objek pajak penghasilan.
5. Mengetahui
bea perolehan atas tanah bangunan.
6. Mengetahui
berapa uang yang harus dikeluarkan dan berapa yang seharusnya kita bayarkan untuk membayar pajak pada kekayaan yang kita miliki
7. Mengetahui
apa sebab timbulnya hutang pajak.
D. Manfaat
Berdasarkan
data-data yang dimuat dalam makalah ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada
penulis serta pembaca dan pengguna makalah ini supaya dapat mengetahui subjek
dan objek pajak, tarif pajak serta penyebab dan hilangnya hutang pajak
BAB II
PEMBAHASAN
A. SUBJEK
PAJAK
Subjek pajak adalah orang, badan atau kesatuan lainnya yang
telah memenuhi syarat-syarat subjektif, yaitu bertempat tinggal atau
berkedudukan di Indonesia. Subjek pajak baru menjadi wajib pajak bila telah
memenuhi syarat-syarat obyektif.
Subjek pajak tidak identik dengan subjek hukum, oleh karena
itu untuk menjadi subjek pajak tidak perlu menjadi subjek hukum. Sehingga
firma, perkumpulan, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan dapat
menjadi subjek pajak. Demikian juga orang gila, anak yang masih di bawah umur
dapat menjadi subjek atau wajib pajak, tetapi untuk mereka perlu ditunjuk orang
atau wali yang dapat dipertanggungjawabkan untuk memenuhi
kewajiban-kewajibannya.
1. Subjek
Pajak Bumi dan Bangunan
Subyek pajak dalam pajak bumi dan bangunan adalah orang atau badan yang
secara nyata:
a) Mempunyai suatu hak atas bumi
b) Memperoleh manfaat atas bumi
c) Memiliki, menguasai
d)
Dan sepertidisebutkan dalam Undang-Undang:
1)
Memperoleh manfaat atas bangunan ( UU
PBB pasal 4 ayat 1 ).
2)
Subyek pajak sebagaimana dimaksud dalam
ayat yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak menurut
Undang-undang ini ( UU PBB pasal 4 ayat 2).
3)
Dalam hal atas suatu obyek pajak belum
jelas diketahui wajib pajaknya, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan
subyek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai wajib pajak ( UU PBB
pasal 4 ayat 3 ).
4)
Subyek pajak yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat memberikan keterangan secara
tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa ia bukan wajib pajak
terhadap obyek pajak dimaksud ( UU PBB pasal 4 ayat 4 ).
5)
Bila keterangan yang diajukan oleh
wajib pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) disetujui, maka Direktur
Jenderal Pajak membatalkan penetapan sebagai wajib pajak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat
keterangan dimaksud ( UU PBB pasal 4 ayat 5 ).
6)
Bila keterangan yang diajukan itu tidak
disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan surat keputusan
penolakan dengan disertai alasan-alasannya ( UU PBB pasal 4 ayat 6 ).
7)
Apabila setelah jangka waktu satu
bulan sejak tanggal diterimanya keterangan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4), Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, maka
keterangan yang diajukan itu dianggap disetujui ( UU PBB pasal 4 ayat 7 ).
2.
Subjek Pajak Penghasilan
Menurut Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1983, sebagaimana telah dirubah dan
disempurnakan terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008- Pajak
Penghasilan, ”Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas
Penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak”.
Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (1) nya dijelaskan, bahwa yang
menjadi subjek pajak dalam Pajak Penghasilan adalah :
a) Orang
pribadi atau perseorangan;
b) Warisan
yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan;
c) Badan;
d) Bentuk
usaha tetap (BUT)
Penjelasan
selanjutnya Pasal 2 ayat (1) adalah:
a)
Orang pribadi atau perseorangan;
Sebagai Subjek Pajak dapat bertempat
tinggal di Indonesia, atau pun tidak bertempat tinggal di Indonesia.
b)
Warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan;
Sebagai Subjek Pajak, merupakan subjek pajak pengganti,
menggantikan mereka yang berhak dikemudian hari, ini menjadi dasar agar
pengenaan pajak dari warisan tersebut tetap terjamin, berhubung misalnya yang
punya harta (warisan) semasa hidup tidak menetapkan siapa yang bertanggung
jawab dikemudian hari apabila yang bersangkutan meninggal dunia. Contoh : Ahmad
semasa hidup memiliki usaha bengkel mobil yang selalu tetap memenuhi kewajiban
pajaknya setiap tahun. Suatu saat Ahmad meninggal, harta (warisan berupa
bengkel mobil) belum dibagikan kepada ahli waris, maka selama belum dibagikan
harta (bengkel mobil) tersebut, berstatus sebagai subjek pajak. Apabila harta
(bengkel mobil) dimaksud, telah dibagikan (ditetapkan) pemilik barunya, maka
warisan (harta) tersebut berakhir kedudukannya sebagai subjek pajak.
Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-161/PJ./2001, Tgl 21 Pebruari
2001, Tentang Jangka Waktu Pendaftaran, Pelaporan Kegiatan Usaha, dan Tatacara
Penghapusan NPWP, serta Pengukuhan Dan Pencabutan PKP, pada pasal 10
menyebutkan, bahwa dalam hal wajib pajak yang telah memiliki NPWP meninggal
dunia, dan meninggalkan warisan yang belum terbagi, maka warisan yang belum
terbagi tadi kedudukannya sebagai subjek pajak, menggunakan NPWP dari wajib
pajak yang meninggal dunia, dan ahli warisnya wajib mengisi formulir yang
ditentukan, dan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak (PKP)nya, tidak
diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), sebagaimana
ditegaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-10/PJ.41/1996, Tgl
12 Pebruari 1996.
c) Badan;
Adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan satu
kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha, yang meliputi
Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer (CV), Perseroan lainnya, Badan Usaha
Milik Negara/Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, Firma, Kongsi,
Koperasi, Dana Pensiun, Persekutuan, Perkumpulan, Yayasan, Organisasi masa,
Orgaisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, Lembaga, Bentuk Usaha
Tetap, dan bentuk badan lainnya, termasuk Reksa dana.
Dalam UU ini, Bentuk Usaha Tetap ditentukan sebagai subjek pajak tersendiri
sebagai Subjek Pajak Luar Negeri, sekalipun tatacara pengenaannya serta
ketentuan administrasi perpajakannya sama dengan wajib pajak dalam negeri
Badan Usaha
Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, merupakan Subjek Pajak, tanpa memperhatikan nama dan bentuknya, sehingga setiap unit dari
badan pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh
pemerintah pusat, maupun pemerintah daerah, yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan subjek pajak. Sebagai
subjek pajak perusahaan Reksadana, baik yang berbentuk perseroan terbatas,
maupun bentuk lainnya, termasuk dalam pengertian badan. Sedangkan pengertian
perkumpulan termasuk pula assosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari
pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.
d) Bentuk Usaha
Tetap (BUT)
Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (5), UU No. 36 tahun 2008-PPh, dijelaskan bahwa yang dimaksud denganBentuk Usaha Tetap, adalah bentuk
usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia, atau yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka
waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan
di Indonesia untuk menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, yang dapat
berupa:
1)
Tempat
kedudukan manajemen ;
2)
Cabang Perusahaan ;
3)
Kantor
Perwakilan;
4)
Gedung
Kantor ;
5)
Pabrik
;
6)
Bengkel
;
7)
Gudang
;
8)
Ruang
untuk promosi dan penjualan;
9)
Pertambangan
dan penggalian sumber alam ;
10) Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
11) Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
12) Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang
lain,sepanjangdilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu
12(dua belas) bln;
13) Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak
bebas ;
14) Agen atau pegawai perusahaan
asuransi yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima premi asuransi atau
menanggung resiko di Indonesia ;
15) Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki,
disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk
menjalankan usaha melalui internet.
Selanjutnya dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) huruf b, UU No. 36 tahun 2008unit usaha
tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria berikut, tidak
termasuk sebagai subjek pajak yaitu :
a) Dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b) Dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD.
c) Penerimaan lembaga tersebut dimasukan dalam anggaran pemerintah
pusat atau pemerintah daerah.
d) Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional
negara.
Apabila suatu badan/lembaga memenuhi syarat–syarat tersebut diatas, maka ia tidak termasuk subjek pajak penghasilan. Sebalikya apabila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, maka badan/lembaga tersebut adalah subjek pajak pada pajak penghasilan.
Apabila suatu badan/lembaga memenuhi syarat–syarat tersebut diatas, maka ia tidak termasuk subjek pajak penghasilan. Sebalikya apabila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, maka badan/lembaga tersebut adalah subjek pajak pada pajak penghasilan.
Subjek PPh
terdiri dari subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri :
a) Subyek
Pajak dalam negeri
Subyek Pajak dalam negeri meliputi:
1) Orang yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari dalam jangka waktu dua belas bulan atau orang yang dalam suatu tahun pajak
berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
2) Badan
yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia;
3)
Bentuk usaha tetap yaitu bentuk usaha, yang dipergunakan untuk menjalankan
kegiatan usaha secara teratur di Indonesia, oleh badan atau perusahaan yang
tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat berupa
tempat kedudukan manajemen, kantor cabang, kantor perwakilan, agen, gedung
kantor, pabrik, bengkel, proyek konstruksi, pertambangan dan penggalian sumber
alam, perikanan, tenaga ahli, pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai
atau oleh orang lain, orang atau badan yang kedudukannya tidak bebas yang
bertindak atas nama badan atau perusahaan yang tidak didirikan atau tidak
bertempat kedudukan di Indonesia dan perusahaan asuransi yang tidak didirikan
atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia ( UU PPH pasal 2 ayat 3 ).
4) Warisan yang
belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak
b) Subjek
pajak luar negri
Subyek Pajak luar negeri adalah:
1)
Subyek Pajak yang tidak
bertempat tinggal, tidak didirikan, atau tidak berkedudukan di Indonesia, yang
dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia(UU PPH pasal 2 ayat
4).
2) Orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 13 (dua belas) bulan, dan
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat di Indonesia yang menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
3) Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia tidak lebih
dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan
Perbedaan yang penting antara Wajib
Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak Luar Negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban
pajaknya, antara lain:
a)
Wajib
Pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau
diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar
negeri dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan
di Indonesia
b)
Wajib
Pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif
umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan
bruto dengan tarif pajak sepadan
c)
Wajib
Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu
tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib memberitahukan
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi
melalui pemotongan pajak yang bersifat final.
Yang tidak termasuk dalam subyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
adalah :
a) pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan pejabat-pejabat lain
dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang
bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan
warga negara Indonesia, dan di Indonesia tidak melakukan pekerjaan lain atau
kegiatan usaha, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal
balik;
b) pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh
Menteri Keuangan;
c) Perusahaan Jawatan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan. ( UU PPH pasal 3 ayat 1 )
d) Badan
perwakilan Negara asing.
B.
OBJEK PAJAK
Objekpajakyaitusesuatu
yang dikenakanpajakataudapatdiartikansebagaisasaranpengenaanpajak.Mengenai apa yang dapat dijadikan
objek pajak banyak sekali macamnya. Pada prinsipnya segala sesuatu yang ada
dalam masyarakat dapat dijadikan sasaran atau objek pajak, baik keadaan, perbuatan,
maupun peristiwa.
1.
Objek Pajak Bumi dan Bangunan
Yang
menjadi objek pajak bumi dan bangunan adalah bumi dan bangunan atau bangunan.
a) Bumi
adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya; permukaan bumi
meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia.
b) Bangunan
adalah konstruksi tekhnik yang ditanam atau diletakkan secara tetap pada tanah
dan atau perairan.
Selain itu yang termasuk dalam
pengertian bangunan adalah :
1) Jalan
lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik
dan emplesemennya dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks
bangunan tersebut.
2) Jalan
tol
3) Kolam
renang
4) Pagar
mewah
5) Tempat
olahraga
6) Galangan
kapal, dermaga
7) Taman
mewah
8) Tempat
penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak
9) Fasilitas
lain yang memberikan manfaat.
Klasifikasi obyek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh
Menteri Keuangan ( UU PBB Pasal 2 ayat 2 ).Yang dimaksud dengan klasifikasi
bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi dan bangunan menurutnilai jualnya
dan digunakan sebagai pedoman serta untuk memudahkan penghitungan pajak
yangterhutang.
Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan faktor-faktor sebagai
berikut :
a) Letak;
b) Peruntukan;
c) Pemanfaatan
d)
Kondisi lingkungan dan lain-lain.
Dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor sebagai
berikut :
a) Bahan yang digunakan;
b) Rekayasa;
c) Letak;
d) Kondisi lingkungan dan lain-lain.
Obyek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah objek pajak
yang seperti:
a) Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah,
sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan
untuk memperoleh keuntungan.
b) Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan
itu;
c) Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional,
tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum
dibebani suatu hak;
d) Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan
timbal balik.
e)
Digunakan oleh badan atau perwakilan
organisasi internasional yang ditentukan oleh MenteriKeuangan ( UU PBB
Pasal 3 ayat 1 ).
2.
Objek Pajak Penghasilan
Yang menjadi Obyek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan
nama dan dalam bentuk apapun, termasuk di dalamnya :
a) Gaji,
upah, komisi, bonus atau gratifikasi, uang pensiun atau imbalan lainnya untuk
pekerjaan yang dilakukan;
b) Honorarium,
hadiah undian dan penghargaan;
c) Laba bruto
usaha;
d) Keuntungan
karena penjualan atau karena pengalihan harta, termasuk keuntungan yang
diperoleh oleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan
harta kepada pemegang saham, sekutu, anggota, serta karena likuidasi;
e) Penerimaan
kembali pembayaran pajak yang telah diperhitungkan sebagai biaya;
f) Bunga;
g) Dividen,
dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan oleh perseroan, pembayaran
dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, pembagian Sisa Hasil
Usaha koperasi pengurus dan pengembalian Sisa Hasil Usaha koperasi kepada
anggota
h) Royalti;
i)
Sewa dari harta;
j)
Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k) Keuntungan
karena pembebasan utang. ( UU PPH pasal 4 ayat 1 )
Yang tidak termasuk sebagai Obyek Pajak antara lain :
a) Harta hibahan
atau bantuan yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan dari pihak
yang bersangkutan;
b) Warisan;
c) Pembayaran
dari perusahaan asuransi karena kecelakaan, sakit atau karena meninggalnya
orang yang tertanggung, dan pembayaran asuransi bea siswa;
d) Penggantian
berkenaan dengan pekerjaan atau jasa, yang dinikmati dalam bentuk natura,
dengan ketentuan, bahwa yang memberikan penggantian adalah Pemerintah atau
Wajib Pajak menurut Undang-undang ini dan Wajib Pajak yang memberikan
penggantian tersebut, sesuai ketentuan dalam Pasal 9 ayat 1huruf d tidak
Mengurangkan penggantian itu sebagai biaya;
e) Keuntungan
karena pengalihan harta orang pribadi, harta anggota firma, perseroan
komanditer atau kongsi tersebut kepada perseroan terbatas di dalam negeri
sebagai pengganti sahamnya, dengan syarat :
1) Pihak yang
mengalihkan atau pihak-pihak yang mengalihkan secara bersama-sama memiliki
paling sedikit 90% (sembilan puluh persen) dari jumlah modal yang disetor;
2) Pengalihan
tersebut diberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak;
3) Pengenaan
pajak dikemudian hari atas keuntungan tersebut dijamin
f) Harta yang
diterima oleh perseroan, persekutuan atau badan lainnya sebagai pengganti saham
atau sebagai pengganti penyertaan modal;
g) Deviden
yang diterima oleh perseroan dalam negeri, selain Bank atau lembaga Keuangan
lainnya, dari Perseroan lain di Indonesia dengan syarat, bahwa perseroan yang
menerima dividen tersebut paling sedikit memiliki 25% (dua puluh lima persen)
dari nilai saham yang disetor dari badan yang membayar dividen dan kedua badan
tsb mempunyai hubungan ekonomis dalam jalur usahanya;
h) Iuran yang
diterima atau diperoleh dana pensiun yang disetujui Menteri Keuangan, baik yang
dibayar oleh pemberi kerja maupun oleh karyawan, dan penghasilan dana pensiun
serupa dari modal yang ditanamkan dalam bidang-bidang tertentu berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan;
i) Penghasilan
Yayasan dari usaha yang semata-mata ditujukan untuk kepentingan umum;
j) Penghasilan
Yayasan dari modal sepanjang penghasilan itu semata-mata digunakan untuk
kepentingan umum;
k) Pembagian
keuntungan dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas
saham-saham, firma, kongsi, dan persekutuan kepada para anggotanya, kecuali
apabila ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan, karena terdapat penyalahgunaan;
( UU PPH pasal 4 ayat 3 )
Yang menjadi Obyek Pajak Bentuk Usaha
Tetap (BUT)antara lain:
a) Penghasilan
dari kegiatan usaha bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dikuasai
atau dimilikinya;
b) Penghasilan
induk perusahaan dan badan lain yang bukan Wajib Pajak dalam negeri yang
mempunyai hubungan istimewa dengan induk perusahaan tersebut, dari kegiatan
usaha atau penjualan barang-barang dan/atau pemberian jasa di Indonesia, yang
sejenis dengan kegiatan usaha atau penjualan barang-barang dan/atau pemberian
jasa yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia, kecuali penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). ( UU PPH pasal 5 ayat 1 )
C. UTANG
PAJAK
1.
Pengertian Utang Pajak
Utang pajak adalah pajak yang harus dibayar termasuk
sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam
surat ketetapan pajak atau surat sejesisnya berdasarka peraturan
perundang-undangan perpajakan. Utang pajak akan timbul sesudah fiskus
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP). Akan tetapi prinsip tersebut tidak
mutlak.Utang pajak dapat timbul apabila keadaan si wajib pajak menjadikan wajib
pajak mempunyai Utang pajak sesuai dengan undang-undang. Sebagai contoh, misal
si A adalah seorang wajib pajak. Dia telah betempat tinggal atau berada di
daerah Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan si A telah
memiliki penghasilan melebihi PTKP. Dalam keadaan tersebut, maka secara
otomatis akan timbul Utang pajak bagi si A tanpa harus menunggu fiskus
menerbitkan SKP kepada si A.
2.
Timbulnya
Utang Pajak
Utang
pajak timbul jika undang-undang yang menjadi dasar pemungutannya telah ada dan
telah dipenuhi syarat-syarat subjek dan objektifnya, yang ditentukan oleh
undang-undang secara bersama (simultan). Syarat objektif dipenuhi apabila
keadaan yang nyata yang disebut oleh Undang -undang dipenuhi, keadaan ini
berupa:
a)Perbuatan
b) Keadaan
c)Peristiwa
Saat
timbulnya utang pajak mempunyai peranan yang menentukan dalam:
a) Pembayaran/penagihan
pajak
b) Memasukkan
surat keberatan
c) Penentuan
saat dimulai dan berakhirnya jangka waktu daluwarsa
d) Menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
3.
Sifat
Utang Pajak
Beberapa
sifat dari utang pajak adalah :
a) Dapat dipaksakan
Artinya
sebagaimana sifat dari pajak yakni pungutannya dapat dipaksakan, pengertiannya
adalah bahwa pemaksaan tersebut di lakukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Jadi utang pajak yang tidak dibayar oleh penanggung pajak
pada waktu yang telah ditentukan (saat jatuh tempo), penagihannya dapat
dilakukan dengan cara paksa melalui “Surat Paksa” (SP, Surat Perintah
melaksanakan penyitaan (SPMP), dan pelelangan harta penanggung pajak melalui
kantor Lelang Negara, berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak Dengan Surat
Paksa ( UU No.19/1997 yang telah dan ditambah terakhir dengan UU No.19/2000).
b) Dapat
menunjuk orang lain untuk ikut membayarnya
Dalam
hal ini pengertiannya adalah bahwa utang pajak yang seharusnya ditanggung oleh
Wajib Pajak, maka berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan penagihan
pajak, dapat menunjuk pihak lain yang ada hubungannya dengan wajib pajak
tersebut. Yang dimaksud dengan pihak lain tersebut adalah :
1) Badan pengurus
dan atau orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan
kebijaksanaan dan atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan.
2) Badan dalam
pembubaran atau pailit oleh orang pribadi atau badan yang dibebani untuk
melakukan pemberesan.
3) Suatu warisan
yang belum terbagi, oleh seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau
pengurus harta peninggalannya.
4) Anak belum
dewasa atau orang yang berada dalam pengampunan oleh wali atau pengampunannya
5) Kuasa yang
ditunjuk secara khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan.
c) Dapat
Ditagih Seketika
Kasus –
kasus yang dapat dipakai alasan penagihan pajak seketika dan sekaligus yaitu :
1) Penanggung
pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu
2) Penanggung
pajak menghentikan secara nyata, mengecilkan kegiatannya di Indonesia, ataupun
memindahkan barang bergerak atau barang tidak bergerak yang dimilikinya atau
dikuasainya.
3) Pembubaran
badan atau niat untuk membubarkannya, pernyataan pailit ataupun penyitaan harta
Penanggung pajak oleh pihak lain.
4) Perusahaan
dibubarkan oleh pemerintah.
d) Mempunyai
Hak Mendahulu Terhadap Hutang yang Lain
Maksudnya yaitu Negara melalui utang pajak
memiliki hak mendahulu (preferen) untuk tagihan pajak atsa barang-barang milik
penanggung pajak, di ats utang-utang yang lain. Dalam hal ini ada dua hal yang
harus diperhatikan, yaitu :
1) Pengertian
utang pajak di sini adalah meliputi pokok pajak, bunga, denda administrasi,
kenaikan dan biaya penagihan
2) Hak
mendahulu meliputi harta wajib pajak dan penanggung pajak
3) Saat
hak mendahulu adalah pada saat penjualan melalui sita lelang, bukan pada saat
penyitaan
Jangka
waktu hak mendahulu tersebut adalah dua tahun sejak diterbitkannya surat
ketetapan pajak atau apabila telah ada penagihan dengan Surat Paksa maka dua
tahun tersebut dihitung sejak diberitahukannya Surat Paksa
e) Dapat
dilakukan pencegahan atau penyanderaan terhadap penanggung pajak
Surat
paksa adalah bersifat eksekutoriol, yaitu dapat dilaksanakaneksekusi tanpa
adanya putusan hakim.Eksekusi ini dapat dilaksanakan pada harta dan juga fisik
Penanggung Pajak.Eksekusi ini dapat dilakukan pada seorang atau seluruh
penanggung pajak.
Yang
dimaksud dengan fisik yaitu :
1)
Pencegahan adalah langkah sementara (selama-lamanya enam
bulan dan dapat diperpanjang selama enam bulan lagi) terhadap penanggung jawab
tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan alasan
tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2)
Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu
kebebasan penanggung pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu (tempat
penyanderaan). Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan tindakan
pencegahan dan penyanderaan adalah :
a)) Utang pajak paling sedikit adalah Rp 100.000,-
b)) Diragukan itikad baiknya dalam pelunasan hutang
pajak
c))
Surat Keputusan Pencegahan diterbitkan oleh Menteri Keuangan atas permintaan Pejabat
atau Atasan Pejabat (Kepala KPP/Kepala KP.PBB/Kepala Dinas Pendapatan
Daerah/Kanwil?dirjen Pajak/Bupati/Walikota)
d)) Surat
Keputusan Penyanderaan diterbitkan oleh Pejabat (Kepala KPP/Kepala
KP.PBB/Kepala Dinas Pendapatan Daerah) atas izin Menteri Keuangan atau Gubernur
(untuk pajak-pajak daerah).
4.
Penagihan
Utang Pajak
Penagihan
Utang pajak adalah perbuatan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak,
karena Wajib Pajak tidak mematuhi ketentuan undang-undang pajak, khususnya
mengenai pembayaran pajak yang terutang. Direktur Jenderal Pajak dapat
melakukan tindakan penagihan pajak bila jumlah pajak yang terutang berdasarkan
Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan,
Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang
harus dibayar bertambah, tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan
jangka waktu yang ditetapkan. Untuk itu, apabila utang pajak sampai dengan
tanggal jatuh tempo pembayaran belum dilunasi, maka akan dilakukan tindakan penagihan
pajak dengan cara sebagai berikut:
a) Surat
Teguran
Utang pajak yang tidak dilunasi setelah lewat 7 (tujuh)
hari dari tanggal jatuh tempo pembayaran, akan diterbitkan Surat Teguran.
b) Surat
Paksa
Utang pajak setelah lewat 21 (dua puluh satu) hari dari tanggal
Surat Teguran tidak dilunasi, akan diterbitkan Surat Paksa yang diberitahukan
oleh Jurusita Pajak dengan dibebani biaya penagihan pajak dengan Surat Paksa
sebesar Rp 50.000,00. Utang pajak harus dilunasi dalam jangka waktu 2 x 24 jam
setelah Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak
c) Surat
Sita
Jika utang pajak dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah
Surat Paksa diberitahukan olehJurusita Pajak tidak dilunasi, maka Jurusita
Pajak dapat melakukan tindakan penyitaan,dengan dibebani biaya pelaksanaan
Surat Perintah Melakukan Penyitaan sebesar Rp75.000,00.
d) Lelang
Apabila dalam jangka waktu paling
singkat 14 (empat belas) hari setelah tindakan penyitaan, utang pajak belum
juga dilunasi, maka akan dilanjutkan dengan pengumuman lelang melalui media
massa. Penjualan secara lelang melalui Kantor Lelang Negara terhadap barang
yang disita, dilaksanakan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah
pengumuman lelang. Biaya penagihan paksa dan biaya pelaksanaan sita yang belum
dibayar akan dibebankan bersama-sama dengan biaya iklan untuk pengumuman lelang
dalam surat kabar dan biaya lelang pada saat pelelangan.
5.
Berakhirnya
Utang Pajak
Utang pajak dapat berakhir karena hal-hal berikut ini :
a)
Pembayaran
/ Pelunasan
Pembayaran / pelunasan pajak dapat dilakukan Wajib Pajak dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau dokumen lain yang dipersamakan.
Pembayaran atau pelunasan pajak dapat dilakukan di Kantor Kas Negara, Kantor
Pos dan Giro, dan Bank Persepsi. Pembayaran pajak hanya dapat dilakukan dengan
uang dan bukan dengan bentuk lainnya.
b)
Kompensasi
Kompensasi dapat dilakukan antara jenis pajak yang berbeda dalam
tahun pajak yang sama, misalnya antara kelebihan pembayaran PPh dengan
kekurangan pembayaran PPN, ataupun antara jenis pajak yang sama dalam tahun
yang berbeda misalnya kelebihan pembayaran PPh tahun lalu dengan kekurangan
pembayaran PPh tahun berjalan.
c)
Penghapusan
Utang
Penghapusan Utang pajak dilakukan karena kondisi dari Wajib Pajak
yang bersangkutan, misalnya Wajib Pajak dinyatakan bangkrut oleh pihak-pihak
yang berwenang. Utang pajak pada prinsipnya dapat dihapuskan karena tidak dapat
atau tidak mungkin ditagih lagi dengan beberapa alasan seperti yang diatur
dalam KepMen Keuangan Nomor 565/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000, yaitu :
1)
Wajib Pajak meninggal dunia dengan tidak meninggalkan
warisan dan tidak mempunyai ahli waris, atau ahli waris tidak dapat ditemukan.
2)
Wajib Pajak tidak mempunyai harta kekayaan lagi yang
dibuktikan berdasarkan surat keterangan dari Pemerintah Daerah setempat.
Penghapusan Utang pajak melalui proses penghapusan merupakan bentuk keadilan
bagi Wajib Pajak yang memang benar-benar mengalami hal tersebut diatas.
3)
Hak untuk melakukan penagihan sudah daluwarsa.
4)
Sebab lain sesuai hasil penelitian, misalnya Wajib Pajak
tidak dapat dilakukan lagi atau dokumen tidak dapat dilakukan lagi disebabkan
keadaan yang tidak dapat dihindarkan seperti kebakaran, bencana alam, dan
sebagainya. Penelitian dilakukan melalui penelitian setempat atau penelitian
administrasi baik oleh KPP maupun oleh KPPBB, yang dilakukan secara per jenis
Wajib Pajak, per tahun pajak dan per jenis ketetapan.
e)Daluwarsa
Daluwarsa
Utang pajak terjadi karena terlampaunya waktu penetapan pajak (penertiban surat
ketetapan pajak) maupun karena lampaunya waktu proses penagihan pajak.
Daluwarsa dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum baik bagi Wajib Pajak
maupun fiskus maka diberikan kebebasan batas waktu tertentu untuk penagihan
pajak. Batas daluwarsa yang berlaku saat ini adalah :
1) Untuk
pajak pusat adalah 5 tahun
2) Untuk
pajak daerah adalah 5 tahun
3) Untuk
retribusi daerah adalah 3 tahun
4) Untuk
Wajib Pajak yang terlibat tindak pidana pajak tidak diberikan batas waktu
f) Pembebasan
Pembebasan pajak biasanya dilakukan
berkaitan dengan kebijakan pemerintah. Misal dalam rangka meningkatkan
penanaman modal maka pemerintah memberikan pembebasan pajak untuk jangka waktu
tertentu atau pembebasan pajak di wilayah-wilayah tertentu.
D. TARIF PAJAK
Tarif pajak merupakan
angka atau persentase yang digunakan untuk menghitung jumlah pajak atau jumlah
pajak yang terutang.
Tarif pajak dibedakan menjadi 4 macam
1. Tarif sebanding/ proporsional
Tarif berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang
dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap
besarnya nilai yang dikenai pajak.
Contoh:
Untuk penyerahan barang kena pajak didalam daerah
pabean akan dikenakan pajakpertambahan nilai sebesar 10%.
2. Tarif tetap
Terif berupa jumlah yang tetap terhadap
berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.
Contoh: Besarnya tarif bea materai untuk cek dan bilyet giro dengan
nilai nominal berapapun adalah rp.1.000.-
3. Tarif progresif
Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang
dikenai pajak semakin besar menurut Pasal 17 UU
pph 1995:
a) Untuk
Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) dalam bentuk Orang Pribadi
Lapisan penghasilan kena pajak
|
Tarif
|
s/d
Rp. 25.000.000,00
|
5%
|
Rp.
25.000.000,00 s/d Rp. 50.000.000,00
|
10%
|
Rp.
50.000.000,00 s/d Rp. 100.000.000,00
|
15%
|
Rp.
100.000.000,00 s/d Rp. 200.000.000,00
|
25%
|
Diatas
Rp. 200.000.000,00
|
35%
|
b) Untuk
WPDN dalam bentuk Badan
Lapisan penghasilan kena pajak
|
Tarif
|
s/d
Rp. 50.000.000,00
|
10%
|
Rp.
50.000.000,00 s/d Rp. 100.000.000,00
|
15%
|
Diatas
Rp. 100.000.000,00
|
30%
|
Penghasilan
tidak kena pajak (PTKP)
adalah sebagai berikut:
Penerima PTKP
|
Setahun
|
Sebulan
|
Untuk diri pegawai
|
Rp 15.840.000
|
Rp 1.320.000
|
Tambahan untuk pegawai yang sudah
menikah(kawin)
|
Rp 1.320.000
|
Rp 110.000
|
Tambahan untuk setiap anggota
keluarga *) paling banyak 3 (tiga) orang
|
Rp 1.320.000
|
Rp 110.000
|
Menurut kenaikan persentase tarifnya, tarif
progresif dibagi menjadi:
a) Tarif progresif progresif :
kenaikan persentase semakin besar
b) Tarif progresif besar :
kenaikan persentase tetap
c) Tarif progresif degresif :
kenaikan persentase ssemakin kecil
4. Tarif degresif
Tarif
degresif yaitu tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai
pajak semakin besar.
Contoh:
1. Rp.
1.000.000 (4%) = Rp. 40.000
2. Rp.
2.000.000 (3,8%) = Rp. 76.000
3. Rp.
3.000.000 (3,5%) = Rp. 105.000
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa yang menjadi subjek PBB adalah orang
atau badan yang memiliki, menguasai; memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau
memperoleh manfaat atas bangunan.Objek PBB adalah bumi dan/atau bangunan.
Sedangkan
subjek PPH adalah orang pribadi, warisan yang belum terbagi menjadi satu
kesatuan menggantikan yang berhak, badan dan bentuk usaha tetap. Objek PPH
adalah Gaji, upah, komisi, bonus atau gratifikasi, uang pensiun atau imbalan
lainnya untuk pekerjaan yang dilakukan;honorarium, hadiah undian dan
penghargaan; laba bruto usaha; keuntungan karena penjualan atau karena
pengalihan harta, termasuk keuntungan yang diperoleh oleh perseroan,
persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham,
sekutu, anggota, serta karena likuidasi; penerimaan kembali pembayaran pajak
yang telah diperhitungkan sebagai biaya; bunga; dividen,pembagian Sisa Hasil
Usaha koperasi pengurus dan pengembalian Sisa Hasil Usaha koperasi kepada
anggota; royalti; sewa dari harta; penerimaan atau perolehan pembayaran
berkala; keuntungan karena pembebasan utang.
B.
Saran
Seharusnya
kita sebagi warga Negara Indonesia harus memahami apa-apa saja yang menjadi
subjek, objek pajak, timbul dan hilangnya utang pajak serta tarif pajak.Sehingga
bisa dimanfaatkan dalam kehidupan bermasyarakat dan menjadi warga Negara yang
taat terhadap pajak.
DAFTAR PUSTAKA
Bohari. 2001.Pengantar Hukum Pajak: Jakarta. PT.
Raja Grafindo Persada.
http://agushariyantosukses.blogspot.com/feeds/posts/default.
http://ganjar-asdi.blogspot.com/feeds/posts/default
http://pelayanan-pajak.blogspot.com/feeds/posts/default
http://muhammadsyaroni.blogspot.com/feeds/posts/default
http://stiepas.blogspot.com/feeds/posts/default
http://Seri PPh - Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 Direktorat Jenderal Pajak.htm
Wirawan B Ilyas, Richard Burton.2004.Hukum Pajak.Jakarta:Salemba
Empat
1 komentar:
objek pajak
kita juga punya nih artikel mengenai 'objek pajak', silahkan dikunjungi dan dibaca , berikut linknya
http://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/2016/1/Artikel_20205677.pdf
terima kasih
semoga bermanfaat
Posting Komentar