BAB
I
PENDAHULUAN
Secara etimologi stratifikasi
sosial berasal dari dua kata yaitu stratifikasi dan sosial. Kata stratifikasi
berasal dari bahasa latin yaitu stratum (jamaknya: strata) yang
berarti lapisan atau tingkat masyarakat. Senada dengan pengertian
tersebut, Tesaurus Bahasa Indonesia juga mengartikan stratifikasi sebagai
pelapisan atau penjenjangan.
Sedangkan secara terminologi,
stratifikasi sosial artinya pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam
kelas-kelas secara bertingkat atas dasar kekuasaan, hak-hak istimewa dan
prestise.
Pitirim A. Sorokin mendefinisikan
stratifikasi sosial sebagai perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam
kelas-kelas yang tersusun secara bertingkat (hierarki). Max Weber
mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai penggolongan orang-orang yang
termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hierarki
menurut dimensi kekuasaan dan prestise.
Dalam stratifikasi sosial,
kemiskinan beserta orang-orang yang mengalaminya seringkali dikategorikan sebagai
kelompok paling bawah. Mereka “dipisahkan” dengan golongan-golongan yang
mempunyai tingkat kesejahteraan hidup di atas mereka. Memang untuk melakukan
kategorisasi kemiskinan keadaan ekonomi masih digunakan sebagai indikatornya.
Berbicara mengenai kemiskinan, kita
tidak akan lepas dari diskusi permasalahan ekonomi. Kadang, kemiskinan dianggap
faktor penghambat pertumbuhan ekonomi di suatu negara. Namun, jika kita
perhatikan lebih seksama kemiskinan merupakan fenomena sosial yang begitu
kompleks, yang ruang lingkupnya melebihi permasalahan ekonomi semata.
Dengan adanya stratifikasi ini,
maka masyarakat akan membentuk suatu sistem seperti yang digambarkan sebelumnya
oleh Karl Marx, yakni kelas-kelas masyarakat yang tersegmentasi dan adakalanya
akses dari bawah ke atas tidak mempunyai jalannya yang lurus. Misalnya kasus
kemiskinan di Indonesia, mungkin pernyataan tersebut bisa dipertimbangkan dalam
menganalisis kemiskinan itu sendiri.
Niat pemerintah yang menggebu-gebu
mengenai program pengentasan kemiskinan seringkali diganjal dengan
tatakelolanya yang sangatlah tidak profesional. Berbagai bantuan yang
seharusnya diberikan oleh rakyat miskin malah digelapkan untuk kepentingan
pihak tertentu, yang mempunyai kewenangan lebih tentunya. Rakyat miskin pun
hanya bisa mengelus dada melihat tingkah laku para pemimpin mereka.
Namun bagaimanapun juga, kemiskinan
berada dalam sebuah sistem sosial yang terstratifikasi tersebut. Dengan
demikian, ranah kemiskinan akan saling berhubungan dengan jenjang-jenjang di
atasnya. Misalnya, adanya proyek bantuan pemerintah, simpati dan empati dari
masyarakat, diskusi panjang kemiskinan oleh para ekonom, penelitian kemiskinan
oleh sosiolog, dan bahkan kemiskinan itu sendiri yang menjadi bahan pengajaran
di kelas. Dan inilah, bagaimana kemiskinan yang dianggap pengganggu mempunyai
dampaknya yang sangat luas bagi masyarakat seantero negeri.
Adanya stratifikasi sosial
nampaknya sudah digariskan pula secara alamiah dalam agama. Sebagai contoh,
adanya perintah-perintah untuk mengasihi dan memberi. Saya ambil contoh dalam
kepercayaan Islam, ada sebuah ajaran untuk berzakat - bersedekah, yakni
memberikan sebagian harta kita untuk mereka yang lebih membutuhkan, salah
satunya adalah fakir miskin. Tanpa stratifikasi sosial yang jelas, maka sulit
untuk melakukan perintah-perintah suci ini. Lihat saja Brunei yang mengalami
kesulitan untuk mencari orang-orang yang pantas diberikan zakat karena
banyaknya orang-orang yang sudah berharta.
BAB
II
KEMISKINAN
A.
Pengertian
Kemiskinan adalah keadaan di mana terjadi
ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat
berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh
kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan
dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami
istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya
dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut
ilmiah yang telah mapan, dll.
Kemiskinan diartikan sebagai suatu
keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai
dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental
maupun fisik dalam kelompok tersebut (Soerjono Soekanto, 1982:378).
Dapat diartikan
juga sebagai Kesenjangan ekonomi atau ketimpangan dalam distribusi pendapatan
antara kelompok masyarakat berpendapatan tinggi dan kelompok masyarakat
berpendapatan rendah serta tingkat kemiskinan atau jumlah orang yang berada di
bawah garis kemiskinan (poverty line) merupakan dua masalah besar di banyak
negara-negara berkembang (LDCs), tidak terkecuali di Indonesia.
Barang siapa yang memiliki sesuatu
yang berharga itu dalam jumlah yang sangat banyak, dianggap oleh masyarakat
berkedudukan dalam lapisan atasan. Mereka yang hanya sedikit sekali atau
sedikit sekali tidak memiliki sesuatu yang berharga tersebut , dalam pandangan
masyarakat mempunyai kedudukan yang rendah (Soerjono Soekanto, 1982:219)
Pemberdayaan
merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan untuk menekan angka kemiskinan
agar tercapai tujuan pembangunan.Menurut John
Friendman mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi tidak terpenuhinya
kebutuhan dasar (esensial) individu sebagai manusia.
Sebagian besar orang-orang miskin di dunia hidup di kawasan
pedesaan, di mana mereka dengan susah payah hidup dari lahan (Henslin,
2006:197)
Sementara
Chambers menggambarkan kemiskinan, terutama di pedesaan mempunyai lima
karakteristik yang saling terkait :
1. Kemiskinan
material,
2. Kelemahan
fisik
3. Keterkucilan
dan keterpencilan,
4. Kerentanan,
5. Ketidakberdayaan.
Dari kelima
karakteristik tersebut yang perlu mendapat perhatian adalah kerentanan dan
ketidakberdayaan. Kerentanan adalah ketidakmampuan keluarga miskin untuk
menyediakan sesuatu guna menghadapi situasi darurat seperti datangnya bencana
alam, kegagalan panen, atau penyakit yang tiba-tiba menimpa keluarga miskin
Kerentanan
sering menimbulkan kondisi memprihatinkan yang menyebabkan keluarga miskin
harus menjual harta benda dan asset produksinya sehingga mereka makin rentan
dan tidak berdaya.
Sedangkan ketidakberdayaan adalah di mana elit
desa dengan seenaknya memfungsikan diri sebagai oknum yang menjaring bantuan
yang sebenarnya diperuntukkan untuk orang miskin.
Ketidakberdayaan
keluarga miskin di kesempatan yang lain mungkin dimanivestasikan dalam hal
seringnya keluarga miskin di tipu dan ditekan oleh orang yang memiliki
kekuasaan. Ketidakberdayaan mengakibatkan terjadinya bias bantuan untuk si
miskin kepada kelas di atasnya yang seharusnya tidak berhak memperoleh subsidi,
seperti kasus dana Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Secara ekonomi
kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan
sekelompok orang. Sumber daya dalam konteks ini menyangkut tidak hanya aspek
finansial, melainkan pula semua jenis kekayaan (wealth) yang dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Kenyataannya
menunjukkan bahwa kemiskinan tidak bisa didefinisikan dengan sangat sederhana,
karena tidak hanya berhubungan dengan kemampuan memenuhi kebutuhan material,
tetapi juga sangat berkaitan dengan dimensi kehidupan manusia berikut ini :
1. Terbatasnya
kecukupan dan mutu pangan, dilihat dari stok pangan yang terbatas, rendahnya
asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita dan
ibu.
2. Terbatasnya
akses dan rendahnya di sebabkan oleh kesulitan mendapatkan mutu layanan
kesehatan,kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, kurangnya layanan
reproduksi .jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh, biaya pengobatan dan
biaya perawatan yang mahal. Di sisi lain, utilisasi rumah sakit masih
didominasi oleh golongan mampu, sedang masyarakat miskin cenderung memanfaatkan
pelayanan di Puskesmas. Demikian juga persalinan oleh tenaga kesehatan dan
asuransi kesehatan sebagai suatu bentuk sistem jaminan sosial pada penduduk
miskin.
3. Terbatasnya
akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan yang disebabkan oleh kesenjangan
biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, biaya pendidikan yang
mahal, kesempatan memperoleh pendidikan yang terbatas, tingginya beban biaya
pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung.
4. Terbatasnya
kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan
perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan
pekerja perempuan seperti buruh migran perempuan dan pembantu rumah tangga.
5. Terbatasnya
akses layanan perumahan dan sanitasi. Masyarakat miskin yang tinggal di kawasan
nelayan, pinggiran hutan, dan pertanian lahan kering kesulitan memperoleh
perumahan dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak. Dalam satu rumah
sering kali dijumpai lebih dari satu keluarga dengan fasilitas sanitasi yang
kurang memadai.
6. Terbatasnya
akses terhadap air bersih. Kesulitan untuk mendapatkan air bersih terutama
disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber
air.
7. Lemahnya
kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah. Masyarakat miskin menghadapi masalah
ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam
penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah tangga petani sangat
dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan mobilisasi anggota
keluarganya untuk bekerja di atas tanah pertanian.
8. Memburuknya
kondisi lingkungan hidup dan sumber daya alam, serta terbatasnya akses
masyarakat terhadap sumber daya alam. Masyarakat miskin yang tinggal di daerah
perdesaan, kawasan pesisir, daerah pertambangan dan daerah pinggiran hutan
sangat tergantung pada sumber daya alam sebagai sumber penghasilan.
9. Lemahnya
jaminan rasa aman.
10. Lemahnya
partisipasi. Berbagai kasus penggusuran perkotaan, pemutusan hubungan kerja
secara sepihak, dan pengusiran petani dari wilayah garapan menunjukkan
kurangnya dialog dan lemahnya pertisipasi mereka dalam pengambilan keputusan.
Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan juga
disebabkan oleh kurangnya informasi baik mengenai kebijakan yang akan
dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang memungkinkan keterlibatan mereka. Besarnya
beban kependudukkan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan
adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi. Rumah tangga miskin
mempunyai rata-rata anggota keluarga lebih besar daripada rumah tangga tidak
miskin.
A. Jenis-jenis Kemiskinan
Besarnya
kemiskinan bisa diukur dengan atau tanpa mengacu kepada garis kemiskinan.
Konsep yang mengacu kepada garis kemiskinan disebut kemiskinan relatif,
sedangkan konsep yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan
disebut kemiskinan absolut.
1.
Kemiskinan relatif adalah suatu ukuran
mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, biasanya dapat
didefinisikan di dalam kaitannya dengan tingkat rata-rata dari distribusi yang
dimaksud.
2.
Kemiskinan absolut adalah derajat kemiskinan di bawah,
di mana kebutuhan-kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat terpenuhi.
B. Penyebab kemiskinan
Faktor-faktor
penyebab kemiskinan sangat sulit untuk dipastikan mana penyebab yang
berpengaruh langsung dan yang tidak langsung terhadap kemiskinan :
1.
Laju Pertumbuhan Penduduk.
Pertumbuhan penduduk Indonesia terus meningkat di setiap 10 tahun
menurut hasil sensus penduduk. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) di
tahun 1990 Indonesia memiliki 179 juta lebih penduduk. Kemudian di sensus penduduk tahun 2000 penduduk
meningkat sebesar 27 juta penduduk atau menjadi 206 juta jiwa. dapat diringkaskan
pertambahan penduduk Indonesia persatuan waktu adalah sebesar setiap tahun
bertambah 2,04 juta orang per tahun atau, 170 ribu orang
per bulan atau 5.577 orang per hari atau 232 orang per jam atau 4 orang per menit. Banyaknya jumlah penduduk ini membawa Indonesia
menjadi negara ke-4 terbanyak penduduknya setelah China, India dan Amerika. Meningkatnya
jumlah penduduk membuat Indonesia semakin terpuruk dengan keadaan ekonomi yang
belum mapan. Jumlah penduduk yang bekerja tidak sebanding dengan jumlah beban
ketergantungan. Penghasilan yang minim ditambah dengan banyaknya beban
ketergantungan yang harus ditanggung membuat penduduk hidup di bawah garis
kemiskinan.
1.
Angkatan Kerja, Penduduk yang Bekerja
dan Pengangguran.
Secara garis besar penduduk suatu negara dibagi menjadi dua
yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Yang tergolong sebagi tenaga kerja
ialah penduduk yang berumur di dalam batas usia kerja. Batasan usia kerja
berbeda-beda di setiap negara yang satu dengan yang lain. Batas usia kerja yang
dianut oleh Indonesia ialah minimum 10 tahun tanpa batas umur maksimum. Jadi setiap
orang atau semua penduduk berumur 10
tahun tergolong sebagai tenaga kerja. Sisanya merupakan bukan tenaga kerja yang
selanjutnya dapat di masukan dalam kategori beban ketergantungan. Tenaga kerja
(manpower ) dipilih pula
ke dalam dua kelompok yaitu angkatan kerja (labor force) dan bukan angkatan
kerja. Yang termasuk angkatan kerja ialah tenaga kerja atau penduduk dalam usia
kerja yang bekerja atau mempunyai pekerjaan namun untuk sementara tidak
bekerja, dan yang mencari pekerjaan. Sedangkan yang termasuk sebagai bukan
angkatan kerja adalah tenaga kerja dalam usia kerja yang tidak sedang bekerja,
tidak mempunyai pekerjaan dan tidak sedang mencari pekerjaan, yakni orang-orang
yang kegiatannya bersekolah, mengurus rumah tangga, serta orang yang menerima
pendapatan tapi bukan merupakan imbalan langsung atas jasa kerjanya. Selanjutnya
angkatan kerja dibedakan pula menjadi dua subkelompok yaitu pekerja dan
penganggur. Yang dimaksud dengan pekerja adalah orang-orang yang mempunyai
pekerjaan, mencakup orang-orang yang mempunyai pekerjaan dan memang sedang
bekerja maupun orang yang memiliki pekerjaan namun sedang tidak bekerja.
Adapun yang dimaksud dengan pengangguran
adalah orang yang tidak mempunyai pekerjaan, lengkapnya orang yang tidak
bekerja dan mencari pekerjaan. Pengangguran semacam ini oleh BPS dikategorikan
sebagai pengangguran terbuka (Dumairy,
1996).
2.
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan
Pembangunan
Distribusi pendapatan nasional mencerminkan merata atau timpangnya
pembagian hasil pembangunan suatu negara di kalangan penduduknya. Kriteria ketidakmerataan
versi Bank Dunia didasarkan atas porsi pendapatan nasional yang dinikmati oleh
tiga lapisan penduduk, yakni 40% penduduk berpendapatan rendah(penduduk
miskin); 40% penduduk berpendapatan menengah; serta 20% penduduk berpendapatan
tertinggi (penduduk terkaya). Ketimpangan dan ketidakmerataan distribusi
dinyatakan parah apabila 40% penduduk berpendapatan rendah menikmati kurang
dari 12 persen pendapatan nasional.
Ketidakmerataan
dianggap sedang atau moderat bila 40% penduduk berpendapatan rendah menikmati
12 hingga 17 persen pendapatan nasional. Sedangkan jika 40% penduduk miskin menikmati
lebih dari 17 persen pendapatan nasional makan ketimpangan atau
kesenjangan dikatakan lunak, distribusi
pendapatan nasional dikatakan cukup merata (Dumairy, 1996).
Pendapatan penduduk yang didapatkan dari hasil pekerjaan yang mereka
lakukan relatif tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari sedangkan ada
sebagian penduduk di Indonesia mempunyai pendapatan yang berlebih. Ini disebut
juga sebagai ketimpangan. Ketimpangan pendapatan yang ekstrem dapat menyebabkan
inefisiensi ekonomi. Penyebabnya sebagian adalah pada tingkat pendapatan rata
± rata berapa pun, ketimpangan yang semakin tinggi akan menyebabkan
semakin kecilnya bagian populasi yang memenuhi syarat untuk mendapatkan
pinjaman atau sumber kredit. Selain itu ketimpangan dapat menyebabkan alokasi
aset yang tidak efisien.
Ketimpangan
yang tinggi menyebabkan penekanan yang terlalu tinggi pada pendidikan tinggi
dengan mengorbankan kualitas universal pendidikan dasar, dan kemudian
menyebabkan kesenjangan pendapatan yang semakin melebar (Todaro, 2006).
Ketimpangan pembangunan di Indonesia selama ini berlangsung dan
berwujud dalam berbagai bentuk dan aspek atau dimensi. Ketimpangan ini lebih
kepada suatu hal yang terencana dan memang disengaja terkait dengan tujuan menjadikan
Indonesia sebagai negara industri. Akan tetapi sampai sejauh manakah ketimpangan
ini dapat ditolerir?
Pemerintah perlu memikirkan kembali perihal ketepatan keputusan
menggunakan industrialisasi sebagai jalur pembangunan karena akan sangat berdampak
bagi pendapatan penduduk dan selanjutnya kemiskinan. (Dumairy, 1996)
3.
Tingkat pendidikan yang rendah
Rendahnya kualitas penduduk juga merupakan salah satu penyebab
kemiskinan di suatu negara Ini disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan
dan tingkat pengetahuan tenaga kerja. Untuk adanya perkembangan ekonomi
terutama industri, jelas sekali dibutuhkan lebih banyak tenaga kerja yang
mempunyai skill atau paling tidak dapat membaca dan menulis.
pendidikan merupakan sumber daya yang terbesar manfaatnya dibandingkan
faktor-faktor produksi lain ( Irawan, 1999).
4.
Kurangnya perhatian dari pemerintah.
Pemerintah yang kurang peka terhadap laju pertumbuhan masyarakat miskin
dapat menjadi salah satu faktor kemiskinan. Pemerintah tidak dapat memutuskan
kebijakan yang mampu mengendalikan tingkat kemiskinan di negaranya.
5.
Tingkat inflasi
6.
Pajak dan subsidi Investasi
7.
Alokasi serta kualitas SDA dan
ketersediaan fasilitas umum
8.
Kondisi fisik dan alam
9.
Politik dan peperangan
10. Bencana
alam
Sedangkan Secara
teoritis kemiskinan dapat dipahami melalui akar penyebabnya yang dibedakan
menjadi dua kategori :
1.
Kemiskinan Natural atau alamiah
Kemiskinan yang timbul sebagai
akibat terbatasnya jumlah sumber daya dan/atau karena tingkat perkembangan
teknologi yang sangat rendah.
2.
Kemiskinan struktural
Kemiskinan yang terjadi karena
struktur sosial yang ada membuat anggota atau kelompok masyarakat tidak
menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas secara merata.
Artinya sebagian
anggota masyarakat tetap miskin walaupun sebenarnya jumlah total produksi yang
dihasilkan oleh masyarakat tersebut bila dibagi rata dapat membebaskan semua
anggota masyarakat dari kemiskinan.
Golongan yang
menderita kemiskinan struktural itu misalnya terdiri dari para petani yang
tidak memiliki tanah sendiri, atau para petani yang tanah miliknya kecil
sehingga hasilnya tidak mencukupi untuk memberi makan kepada dirinya sendiri
dan keluarganya. Termasuk golongan miskin lain adalah kaum buruh yang tidak
terpelajar dan terlatih, atau apa yang dengan kata asing disebut unskilled
labors.
Golongan miskin
ini meliputi juga para pengusaha tanpa modal dan tanpa fasilitas dari
pemerintah yang sekarang dapat dinamakan golongan ekonomi sangat lemah.
B.
Penanggulangan
Kemiskinan
Persoalan
kemiskinan dan kesenjangan sosial masih menjadi masalah besar di negara
Indonesia terutama di daerah pedesaan. Persoalan kemiskinan dan kesenjangan
sosial dapat menjadi konflik untuk itu harus mencari alternatif penanggulangan
kemiskinan.
Salah satu upaya
dalam penanggulangan kemiskinan adalah dengan pemberdayaan, misalnya
pemberdayaan lingkungan dan pemberdayaan kewirausahaan.
Pemberdayaan
adalah suatu proses yang mengembangkan dan memperkuat kemampuan masyarakat
untuk terus terlibat dalam proses pembangunan yang secara dinamis sehingga
masyarakat dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi serta dapat mengambil
keputusan.
Pemberdayaan
merupakan program komprehensif dan terpadu dalam rangka peningkatan mutu Sumber
Daya Manusia, human capital, yang sekaligus diarahkan untuk mencapai Millenium
Development Goals (MDGs) yang tujuan utamanya penghapusan kemiskinan dan
peningkatan mutu manusia yang berbudaya dan demokratis.
Pemerintah pun
telah banyak mengeluarkan program kebijakan yang digunakan untuk menanggulangi
kemiskinan contohnya : PKPS BBM yang terdiri dari program bagi-bagi uang atau
BLT, P2KP yang kemudian diganti menjadi PNPM dengan aneka ragam jenis PNPM,
program BOS, RASKIN, Askeskin, Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Menurut Roger
Harris dalam bukunya yang berjudul information and communication technologies
for poverty alleviation (2004), Strategi penanggulangan kemiskinan, antara
lain:
1. Mendistribusikan
informasi yang relevan untuk pembangunan.
2. Memberdayakan
masyarakat yang kurang beruntung (disadvantaged) dan terpinggirkan (marginalized).
3. Mendorong
usaha mikro (fostering micro entrepreneurship)
4. Meningkatkan
layanan informasi kesehatan jarak jauh (telemedicine).
5. Memperbaiki
pendidikan melalui e-learning dan pembelajaran seumur hidup (life long
learning).
6. Mengembangkan
perdagangan melalui ecommerce.
7. Menciptakan
ketataprajaan yang lebih efesien dan transparan melalui e-govermence.
8. Mengembangkan
kemampuan.
9. Memperkaya
kebudayaan.
10. Menunjang
pertanian
11. Menciptakan
lapangan kerja, dan Mendorong mobilisasi sosial
A.
Dampak
Kemiskinan
Tidak dapat
dipungkiri bahwa yang menjadi musuh utama dari bangsa ini adalah kemiskinan.
Sebab, kemiskinan telah menjadi kata yang menghantui negara-negara berkembang.
Khususnya Indonesia. Mengapa demikian? Jawabannya karena selama ini pemerintah
(tampak limbo) belum memiliki strategi dan kebijakan pengentasan kemiskinan
yang jitu. Kebijakan pengentasan kemiskinan masih bersifat pro buget, belum pro
poor. Sebab, dari setiap permasalahan seperti kemiskinan, pengangguran, dan
kekerasan selalu diterapkan pola kebijakan yang sifatnya struktural dan
pendekatan ekonomi (makro) semata.
Semua dihitung
berdasarkan angka-angka atau statistik. Padahal kebijakan pengentasan
kemiskinan juga harus dilihat dari segi non-ekonomis atau non-statistik.
Misalnya, pemberdayaan masyarakat miskin yang sifatnya “buttom-up intervention”
dengan padat karya atau dengan memberikan pelatihan kewirauasahaan untuk
menumbuhkan sikap dan mental wirausaha (enterpreneur). Karena itu situasi di
Indonesia sekarang jelas menunjukkan ada banyak orang terpuruk dalam kemiskinan
bukan karena malas bekerja. Namun, karena struktur lingkungan (tidak memiliki
kesempatan yang sama) dan kebijakan pemerintah tidak memungkinkan mereka bisa
naik kelas atau melakukan mobilitas sosial secara vertikal.
Dampak dari kemiskinan
terhadap masyarakat umumnya begitu banyak dan kompleks.
1. Pengangguran
Sebagaimana kita ketahui jumlah
pengangguran terbuka tahun 2007 saja sebanyak 12,7 juta orang. Jumlah yang
cukup “fantastis” mengingat krisis multidimensional yang sedang dihadapi bangsa
saat ini. Dengan banyaknya pengangguran berarti banyak masyarakat tidak
memiliki penghasilan karena tidak bekerja. Karena tidak bekerja dan tidak
memiliki penghasilan mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya. Secara
otomatis pengangguran telah menurunkan daya saing dan beli masyarakat.
Sehingga, akan memberikan dampak secara langsung terhadap tingkat pendapatan,
nutrisi, dan tingkat pengeluaran rata-rata.
Dalam konteks
daya saing secara keseluruhan, belum membaiknya pembangunan manusia di Tanah
Air, akan melemahkan kekuatan daya saing bangsa. Ukuran daya saing ini kerap
digunakan untuk mengetahui kemampuan suatu bangsa dalam bersaing dengan
bangsa-bangsa lain secara global. Dalam konteks daya beli di tengah melemahnya
daya beli masyarakat kenaikan harga beras akan berpotensi meningkatkan angka
kemiskinan. Razali Ritonga menyatakan perkiraan itu didasarkan atas kontribusi
pangan yang cukup dominan terhadap penentuan garis kemiskinan yakni hampir tiga
perempatnya [74,99 persen].
Meluasnya
pengangguran sebenarnya bukan saja disebabkan rendahnya tingkat pendidikan
seseorang. Tetapi, juga disebabkan kebijakan pemerintah yang terlalu
memprioritaskan ekonomi makro atau pertumbuhan [growth]. Ketika terjadi krisis
ekonomi di kawasan Asia tahun 1997 silam misalnya banyak perusahaan yang
melakukan perampingan jumlah tenaga kerja. Sebab, tak mampu lagi membayar gaji
karyawan akibat defisit anggaran perusahaan. Akibatnya jutaan orang terpaksa
harus dirumahkan atau dengan kata lain mereka terpaksa di-PHK [Putus Hubungan
Kerja].
2. Kekerasan
Sesungguhnya
kekerasan yang marak terjadi akhir-akhir ini merupakan efek dari pengangguran.
Karena seseorang tidak mampu lagi mencari nafkah melalui jalan yang benar dan
halal. Ketika tak ada lagi jaminan bagi seseorang dapat bertahan dan menjaga
keberlangsungan hidupnya maka jalan pintas pun dilakukan. Misalnya, merampok,
menodong, mencuri, atau menipu [dengan cara mengintimidasi orang lain] di atas
kendaraan umum dengan berpura-pura kalau sanak keluarganya ada yang sakit dan
butuh biaya besar untuk operasi. Sehingga dengan mudah ia mendapatkan uang dari
memalak.
3. Pendidikan
Tingkat putus
sekolah yang tinggi merupakan fenomena yang terjadi dewasa ini. Mahalnya biaya
pendidikan membuat masyarakat miskin tidak dapat lagi menjangkau dunia sekolah
atau pendidikan. Jelas mereka tak dapat menjangkau dunia pendidikan yang sangat
mahal itu. Sebab, mereka begitu miskin. Untuk makan satu kali sehari saja
mereka sudah kesulitan.
Bagaimana
seorang penarik becak misalnya yang memiliki anak cerdas bisa mengangkat
dirinya dari kemiskinan ketika biaya untuk sekolah saja sudah sangat mencekik
leher. Sementara anak-anak orang yang berduit bisa bersekolah di
perguruan-perguruan tinggi mentereng dengan fasilitas lengkap. Jika ini yang
terjadi sesungguhnya negara sudah melakukan “pemiskinan struktural” terhadap
rakyatnya.
Akhirnya kondisi masyarakat
miskin semakin terpuruk lebih dalam. Tingginya tingkat putus sekolah berdampak
pada rendahya tingkat pendidikan seseorang. Dengan begitu akan mengurangi
kesempatan seseorang mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Ini akan
menyebabkanbertambahnya
pengangguran akibat tidak mampu bersaing di era globalisasi yang menuntut
keterampilan di segala bidang.
1. Kesehatan
Seperti kita
ketahui, biaya pengobatan sekarang sangat mahal. Hampir setiap klinik
pengobatan apalagi rumah sakit swasta besar menerapkan tarif atau ongkos
pengobatan yang biayanya melangit. Sehingga, biayanya tak terjangkau oleh
kalangan miskin.
2. Konflik Sosial Bernuansa SARA
Tanpa bersikap
munafik konflik SARA muncul akibat ketidakpuasan dan kekecewaan atas kondisi
miskin yang akut. Hal ini menjadi bukti lain dari kemiskinan yang kita alami. M
Yudhi Haryono menyebut akibat ketiadaan jaminan keadilan “keamanan” dan
perlindungan hukum dari negara, persoalan ekonomi-politik yang obyektif
disublimasikan ke dalam bentrokan identitas yang subjektif.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kemiskinan
menjadi salah satu masalah pokok di negara Indonesia, hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu, pertumbuhan ekonomi yang tidak stabil, Laju Pertumbuhan
Penduduk, angkatan Kerja, Penduduk yang Bekerja dan Pengangguran, Distribusi
Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan, Tingkat pendidikan yang rendah, Kurangnya
perhatian dari pemerintah, Tingkat inflasi, Pajak dan subsidi Investasi,
alokasi serta kualitas SDA dan ketersediaan fasilitas umum, kurangnya perhatian
pemerintah terhadap masyarakat dan lain-lain.
Hal ini dapat
menimbulkan dampak-dampak negatif bagi masyarakat, contohnya pengangguran,
kekerasan, kesehatan masyarakat yang menurun, munculnya konflik sosial dan lain
sebagainya. Semua ini dapat diatasi dengan beberapa cara salah satunya adalah
dengan pemberdayaan masyarakat, misalnya pemberdayaan lingkungan dan pemberdayaan
kewirausahaan. Dengan pemberdayaan seperti ini, masyarakat akan mempunyai skill
dan kemampuan dalam beberapa bidang sehingga dapat menciptakan kreativitas yang
dapat dikembangkan dan menunjang ekonomi masyarakat yang lebih baik.